Senin, 04 Juli 2016

Pulang yang tak lagi kembali

Sunyi duduk seorang diri. Ia termangu usai Jarak memutuskan untuk kembali kepada kekasihnya. Begitulah rahasia dikuburkan. Tidak sempat terkuak atau menguras air mata. Sunyi hanya tiada, tidak pernah dianggap ada.

***

Dua tahun bukan waktu yang singkat bagi Sunyi dan Jarak memadu kasih. Meski Jarak tak lagi sendiri, Sunyi tak mampu mencegah hati untuk mengagumi betapa ia rela berbagi dan mengasihi. Mereka terlihat begitu serasi dan adalah pasangan idaman yang membuat iri.

Keduanya tak tahu kapan semua dimulai. Sepemahaman Sunyi, dia rela dibagi walau hanya separuh kasih dari hati Jarak yang lebih dahulu berlabuh pada kekasihnya. Secuilpun Sunyi rasa tak akan iri jika Jarak lebih mencintai kekasihnya. Dia rela menjadi bukan yang pertama, kedua, atau ketiga. Kesekian urutan angka yang muncul, asalkan nama Sunyi tersebutkan ketika Jarak berpaling dari kekasihnya.

Sunyi sendiri tidak memahami alasan mengapa Jarak menduakan kekasihnya jika memang dia benar-benar tak bisa meninggalkannya. Sunyi tak pernah memikirkannya. Ia hanya bisa merasakan kehangatan dari setiap tatap mata dalam kehadiran Jarak. Semua menjadi candu bagi Sunyi dalam seketika.

Terlambat bagi Sunyi untuk mampu bangun pagi tanpa menatap bias matahari yang menembus lekuk tubuh Jarak. Sarapan pagi seorang diri pun sudah tak mampu Sunyi lakukan lagi. Semua begitu indah hingga matahari meninggi dan Jarak harus kembali.


'Ddrrrttt...ddrrttt...'
Sebuah pesan datang dan membangunkan Jarak dari pulas tidurnya.

"Aku harus kembali" Jarak bergegas tanpa mandi atau sarapan pagi. Sunyi hanya mampu meneguk segelas air putih sambil tersenyum memandangi Jarak pergi.

'Aku akan menemuimu di pendopo besok'. Hanya itu pesan yang dikirimkan Jarak kepada Sunyi hari ini. Sunyi tak suka teka-teki, tak suka kejutan, dan tak suka rahasia. Ia tak suka jika Jarak tak memberitahunya mengapa mereka harus bertemu di pendopo.

Sunyi tahu ini tidak benar dan pasti akan berakhir. Sunyi hanya merasa belum siap dan tidak akan pernah siap. Tidak ada metode yang bisa Sunyi latih agar ia terbiasa untuk tidak mencintai Jarak. Sunyi memberikan sepenuh hatinya.

Tapi Sunyi tetap datang, membawa seikat bunga yang ia tahu tak akan pernah Jarak berikan padanya. Sempat terbesit dibenak Sunyi untuk tak datang. Ia belum mampu mengakhirinya. Semua masih terasa indah dan manis. Sebentar lagi.

'Kamu terlambat?' Jarak menyambut Sunyi.
'Aku membeli bunga yang aku tahu kamu tak akan pernah bawa untukku' Seikat bunga itu menyelamatkannya.
'Sunyi...' Jarak mulai menampakkan mata tajamnya, mengernyitkan sedikit dahinya. Jarak sedang serius.

Sunyi hanya menunduk dan mulai menangis seketika Jarak mulai bercerita. Ia tak sungguh mampu mendengar apa yang Jarak coba jelaskan. Tatap Jarak yang mulai mendingin sejak kedatangannya tadi sudah menjelaskan segalanya. Tak ada lagi hangat untuk Sunyi di sana.

Begitu usai dan tanpa mendapat atau meminta tanggapan dari Sunyi, Jarak melangkah pergi. Sempat Jarak menoleh kepada Sunyi yang ternyata masih menunduk. Entah dengan tatap mata seperti apa, Sunyi tak lagi ingin tahu. Ia tak mau lebih terluka mengetahui tatap mata yang dulu hangat itu mulai menjadi dingin dan kemudian menjadi iba.

Begitulah Jarak pergi meninggalkan Sunyi. Sekarang Sunyi tak lagi menemani Jarak ketika ia jauh dari kekasihnya. Sepi yang dahulu membuat Jarak takut, kini menjadi belati yang menyakiti hati Sunyi.

Kamis, 23 Juni 2016

PAMIT

Tatapmu seluas mata ibu yang menemani bayinya terjaga kala malam,
Suaramu selirih bujuk maaf ayah,
Derai angin yang berlalu dirambutmu,
Hanya bisa ditangkap oleh lekuk simpul di bibirmu,
Yang lebih indah dari bulan sabit sebelum ramadhan datang,
Lebih hangat dari nasi putih hasil sawah sendiri,
Aku pergi hanya ingin memastikan, apakah jarak bisa mengalahkan elok dan juga jernih jelmamu.

Jumat, 29 April 2016

Semua yang dititipkan akan kembali

Memiliki terlalu mahal untukku. Biasanya aku hanya boeh melihat, memandang, dan berkhayal saja. Sesekali waktu pernah juga dipinjamkan walau hanya sebentar. Tapi memilki? Bahkan diriku ini milik orang lain.

Semua yang aku kenakan adalah pinjaman. Semua yang aku makan adalah sisa. Semua yang aku inginkan adalah mimpi.

Hadiah? Barang mewah apalagi itu? Aku tak pernah mendengarnya sama sekali.

Pujian? Sejak kapan barang berharga seperti itu diberikan kepada gelandangan? Aku bahkan tak berani berkhayal mendapatkannya.

Kasihan? Aku tak butuh itu. Aku bukan gelandangan sengsara seperti yang kamu pikirkan. Kamu yang hampir memiliki segalanya merasakan ambisi, atau obsesi untuk menyempurnakan. Yang kamu juga tahu itu takkan pernah berhasil. Kamu yang punya banyak, pasti juga merasakan banyak kehilangan.

Aku? Aku bahkan tak tahu bagaimana rasanya terluka karena kehilangan yang dimiliki. Aku tak pernah memilki, ingat bukan? Aku tak tahu bagaimana berambisi dan terobsesi. Aku damai dalam ketidakpunyaanku.

Aku tak benar-benar merasa memiliki sesuatu yang hanya dititipkan padaku.

Kamis, 14 April 2016

Kesaksian Parang

Gunung Parang terletak di Plered, Purwakarta. Ketinggiannya hanya berkisar 900 mdpl. Apa yang membuatku ingin mendakinya? Hanya rindu suasana alam saja.

Tahun 2015 lalu, setelah Idul Adha, berbekal daging kurban yang aku masak tongseng dan tiga bungkus nasi. Aku bersama dua teman masa SMA yang kini berkumpul kembali dalam rangka long weekend. Tidak ada yang spesial, hanya ingin menikmati suasana alam saja.

Bersama teman-teman lain satu tempat kerja, terkumpullah 8 pemuda-pemudi yang rindu akan ketinggian dan kedamaian. Perjalanan kami tempuh dengan sepeda motor sekitar satu jam dari Purwakarta kota. Memasuki daerah Plered jalan mulai berliku dan menanjak. Kyai Supri (Red: Motor Supra-ku yang hanya mandi sekali dalam setahun) hampir saja gagal menyusuri jalanan terjal itu.

Sebuah parkiran di sebelah kiri jalan nan rindang, di bawah nauangan rimbun bambu adalah pemberhentian dan titik awal pendakian. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan penjaga di sana kami sempat berfoto bersama. Narsis memang sudah menjadi budaya.
Muslimin dan muslimah taat beribadah siap mendaki.
Gunung-gunung dengan ketinggian berkisar seribu mdpl memang tanpa ampun. Tidak punya basa-basi sama sekali. Mendaki benar-benar denotatif dengan makna kata mendaki. Jalur menanjak bukan main, tanpa adanya mukaddimah terlebih dahulu. Warga telah menyusun anak-anak tangga sampai ke atas. Tangga disusun dengan kayu-kayu yang ditebang dari sisi kanan-kiri jalur pendakian.
Tangga yang disusun mengikuti tebing 90 derajat.
Menuju ke puncak bahkan sudah tak ada anak-anak tangga yang bisa didaki.
Hanya ada bebatuan dan dahan-dahan sebagai pegangan.
Kurang lebih begitulah lajur pendakian selama dua jam. Puncak? Enam dari kami sampai ke puncak, dua tinggal di dasar puncak, lebih memilih beristirahat diatas batu datar. Apa yang ditawarkan sang puncak? Akan aku bagi.
Pemandangan Jatiluhur dari Puncak 1 Gunung Parang.
Narsis lagi Cekrekk!
Narsis lagi Cekrek Cekrek!!
Begitulah fisik Gunung Parang, yang ternyata memang tak kalah indah dengan gunung lainnya. Tapi, setiap pendakian adalah perjalanan rohani untukku. Membersihkan jiwa dan menjernihkan hati. Tidak sekedar rekreasi semata menikmati suasana sejuk ketinggian.

Gunung tidak sampai satu kilometer tingginya ini tetap mampu mengajarkan pelajaran berharga. Sangat berharga. Apa yang bisa aku temukan jika aku berjalan sejauh 1 kilometer tapi di jalanan yang datar? Tidak ada, masih sama dengan apa yang aku saksikan setiap hari. Tapi, jika aku ubah perpektif lajurnya menjadi vertikal, seperti dalam pendakian Parang ini, apa yang aku dapat? Keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa. Begitu Kuasa Tuhan yang mampu menciptakan makhluk beragam wujud dan sifat.

Pun dengan hidupku. Apa yang bisa aku temui dengan berjalan mendatar dengan jalur yang lurus-lurus saja? Dibandingkan dengan jika aku menarik lajur perjalanan mendaki dan berliku, akan lebih banyak dan beragam yang aku dapatkan. kepuasan sudah pasti berbeda. Aku tidak akan puas hanya dengan kehidupan yang biasa, karena Tuhan menciptakanku sempurna.

Parang bersaksi bahwa Tuhan memang Maha Kuasa.

Lelaki yang paling tangguh itu kamu

http://files.stablerack.com/webfiles/71513/prayerful_person.jpg
Setiap hawa yang aku kenal, termasuk aku sendiri, mendambakan sandaran yang kuat. Apa makna sebuah tiang, jika ia rapuh? Menipu dan bersamanya akan rubuh bahkan sebelum badai datang. Apa makna sebuah pelindung jika ia lebur bersama hantaman? Dengannya kamu tetap limbung dan jatuh.

Kekuatan untuk jadi sandaran dan lindungan hanya dapat hawa temukan pada adam yang tangguh.

Anyaman bisep yang kuat takkan membuat seorang adam menjadi cukup tangguh melindungi karakter lembut hawa yang lemah. Adam dengan finansial yang kokoh tidak akan cukup menjadi sandaran hati-hati yang lelah.

Adam diciptakan dengan kebesaran logika dan kuasa akan karsa. Adakah yang lebih tangguh dari makhluk kuat dalam lindungan Yang Maha Kuasa? Adam yang mampu bersimpuh dan meminta dalam doa untuk lindungan atas hawa-nya. Bersandar padamu hanya akan mengantarkan ke jalan kebenaran Tuhan.



Selasa, 12 April 2016

Bianglala

http://3.bp.blogspot.com/-PxE9Chq3uTo/VKo0jIY8vNI/AAAAAAAAAkc/C8TQT0ROztI/s1600/IMG_9938_1.jpg
Begitulah aku diciptakan. Aku begitu anggun, tinggi, dan aku yang paling cantik di sini. Aku tahu banyak yang iri terhadapku. Mau bilang apa, aku dirakit dengan sulaman keindahan kerlip warna-warni dan dikaruniai gerakan anggun yang mampu melenakan pasangan-pasangan kekasih. Kerlipku menjulang tinggi menghiasi langit kala malam di taman hiburan seperti pelangi. Yah..aku bianglala.

Tua muda, siapapun itu, akan hanyut dalam romansa malam ditemani alunan musik yanng diperdengarkan. Ketika kalian masuk, lalu aku mulai berputar, menari diangkasa, suasana malam hanya milik kalian. Dan aku terus menari sampai beberapa putaran. Aku tahu kalian sangat menikmati memandang taman hiburan dari angkasa. Cantik bukan. Yah..itu hanya aku yang bisa berikan.

Kalian tahu, aku paling suka pada posisi 270°, ketika putaranku hampir selesai. Pada posisi itu gaya tarik bumi paling besar sehingga kalian akan merasakan sensasi terjatuh atau terhempas seperti ketika menaiki lift. Aku cuma bisa cekikikan melihat selalu ada tangan-tangan mesra yang bergandengan karena takut di dalam bianglala.

Aku memang sempurna. Aku jaga aman setiap penumpang dengan jeruji pengaman. Sambil beputar aku suguhkan pemandanan malam. Belum ditambah sensasi mendebarkan ketika putaranku hampir selesai.

Tapi.

Kalian tahu siapa itu kora-kora? Aku heran kenapa antrian untuk menaiki wahana berbahaya itu begitu panjang. Wahana berbahaya, tanpa pengaman. Penumpang diayun-ayunkan kesana-kemari dengan liar. Dia juga tak punya rem untuk bisa berhenti. Hanya mengandalkan kaki manusia. Bagaimana bisa aku disaingi oleh wahana tak sempurna itu.

Kora-kora memang tidak beranggung jawab. Dia begitu angkuh dan ceroboh. Bagaimana kalau satu penumpang saja jatuh. Kemudian berat antara sisi kanan dan kiri tidak akan seimbang. Perahu itu dengan serta merta dapat hilang keseimbangan dan berputar, menumpahkan seluruh penumpangnya yang tanpa pengaman.

Apa asiknya naik kora-kora. Berputarpun dia tak mampu selesai. Seratus delapan puluh derajat pun tidak.

Tapi.

Mengapa manusia-manusia itu masih saja mau menaikinya. Mereka berteriak-teriak ketakutan di atas sana, namun mereka akan antri dari ujung belakang untuk menaikinya kembali. Apa yang mereka pikirkan? Tidak sayangkah mereka pada dirinya sendiri?

Aku benar-benar tak memahaminya.

Minggu, 03 April 2016

Kudis

Respati sudah berhenti menangis. Dia membuatku terjaga sampai larut. Kali ini Sri sudah keterlaluan. Dia tidak pulang, wajarlah Respati nangis. Anak kecil itu, mau diapain juga tetep butuh ibunya. Dia belum tau seperti apa dan apa saja yang dilakukan ibunya diluar, selama dia digendong ibunya, pasti damai. Aku iri pada Respati. Seandainya aku masih bisa memeluknya dengan kasih ketika diluar sana dia mesra dengan lelaki lain.

Sri masih muda, dia baru dua puluh dua tahun. Aku menikahinya ketika dia lulus SMA. Dasar cantik, walaupun sudah melahirkan Respati, dia masih bak bunga desa di sini. Rambutnya hitam bergelombang. Aku jatuh cinta padanya seketika aku melihatnya tersenyum. Aku akan menikahinya janjiku.

Aku kira dia bahagia aku ajak hidup bersama. Mengandalkan jatah beras dari paruh hasil panen petani yang menggarap sawahku, sementara aku berdagang baju di kiosku, di pasar. Namun, sejak setahun lalu, ketika Sri mulai kursus menjahit di Kecamatan, dia sering pulang kesorean, bahkan kerap pula ba’da isya’ dia baru sampai rumah.

Macam-macam alasan Sri pulang telat. Pernah sekali karena tugas tambahan. Sekali pula dia pakai alasan kecopetan. Ada lagi ban angkudes yang dia tumpangi bocor. Sri tak pandai berbohong. Aku selalu tahu kalau dia bohong, lengannya akan digaruk seperti gatal. Jelas sekali. Selidik punya selidik, aku tahu dia sering piknik atau sekedar jalan-jalan dengan teman-teman kursusnya. Namun, yang jadi beban pikiranku adalah guru kursusnya. Adam itu duda tanpa anak, dia cerai sama mantan istrinya karena kepincut istri tetangga. Sudah pasti suami tetangganya itu ngamuk, terus pindah rumah. Aku takut Sri jadi sasaran selanjutnya. Sri masih terlalu polos.

Benar saja, Sri jadi lebih pandai berbohong akhir-akhir ini. Minggu lalu dia alasan pulang malam gara-gara harus beli bahan ke kota. Tugas dari guru kursusnya katanya. Jelas aja itu alasan Adam biar bis berduaan sama Sri. Empunya kios di perempatan terminal bilang kalau lihat Sri digonceng Adam. Mereka kelihatan mesra. Aku tahu semuanya. Dagang di pasar membuat semua informasi tentang Sri di tempat kursus sampai padaku.

Yang paling parah ya hari ini, sampai larut begini Sri belum pulang. Tanpa kabar. Aku sudah siap-siap sapu buat mukulin dia sesampainya di rumah nanti. Awas aja kalau besok aku sampai denger mereka pergi berdua. Awas aja kamu Sri. Mau alasan apalagi kamu.

Respati sudah tidur. Aku masih megap-megap, mondar-mandir kalap, nunggu Sri pulang. Pukul 1 dini hari. Kemana kamu Sri?

Pukul tiga dini hari, ayam jantan mulai berkokok lagi. Sudah sepertiga malam terakhir. Sri tidak pulang. Aku sama sekali tidak mengantuk. Aku sudah siapkan semua amunisi kali ini untuk membuat Sri tak punya alasan lagi. Kali ini sudah tidak bisa dimaafkan.

Subuh akhirnya datang. Aku tidak tidur semalaman, menunggu Sri pulang. Habis  sholat subuh aku sudah berniat lanjut ke rumah Pak RT melaporkan ketidakpulangan Sri. Aku yakin Sri bersama si Duda kampung sebelah itu. Aku sudah siap memergoki mereka.

"Tok tok tok"
Siapa itu subuh-subuh bertamu. Jangan-jangan Sri pulang. Aku bergegas membuka pintu.
"Pak Jali, Sri di rumah sakit di Kabupaten, Pak".
Seketika jantungku seperti berhenti berdetak sejenak. Ngapain aja aku semalaman ini bukannya mencari Sri, malah mikir yang tidak-tidak di rumah.
"Kok bisa, Pak RT? Sri kenapa?"

Pak RT Membawaku dengan mobil pick up nya ke rumah sakit segera. Aku gendong Respati yang masih tertidur.

"Mas Jali, Sri alergi gelang dari Mas Jali"

Dokter bilang Sri alergi gelang emas yang dia pakai di lengan kirinya. Itu gelang emas dariku. Aku bilang gelang itu jangan dilepas, itu hadiah buat Sri. Lengan kiri Sri selalu gatal-gatal tapi dia mengira kalau itu kudis, jadi dia hanya oles salep saja setiap hari. Lama-kelamaan kulitnya infeksi sampai sulit napas. Akhirnya kemarin sore dia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Pantas saja dia selalu garuk-garuk lengannya akhir-akhir ini. Maafkan Mas Jali ,Sri.